Bagaimana Cara Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak Pidana?
Saya ingin menanyakan, bagaimanakah prosedur dalam permintaan ganti
rugi atas kasus suatu pidana? Siapakah yang menentukan besarnya ganti
rugi? Apabila si terdakwa ditetapkan mendapat ancaman kurungan sekian
waktu oleh pengadilan, apakah pihak yang menjadi korban tetap dapat
meminta ganti rugi terhadap si terdakwa? Berapakah biasanya besar ganti
rugi untuk kasus pencemaran nama baik di depan umum, pengrusakan barang,
pemukulan yang mengakibatkan si korban luka, dan pemfitnahan kepada
seseorang sekaligus? Terima kasih atas perhatiannya
Jawaban:
Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;
1) melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2) melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
3) melalui Permohonan Restitusi.
1) Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam
Bab XIII UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang
mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal 101. Pasal 98 ayat (1) KUHAP
menentukan bahwa, “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di
dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas
permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Untuk itu permohonan
penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat
(2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir,
permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Pada saat korban tindak pidana meminta
penggabungan perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang
tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang
kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh korban (lihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP)
Putusan
mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan
hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum
tetap (lihat Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan
terhadap perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi
otomatis akan mengalami hal yang sama (lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP).
Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan
banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (lihat
Pasal 100 ayat [2] KUHAP).
Mekanisme pemeriksaan
penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101
KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
2) Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata
biasa dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini,
Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu
adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang
dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).
3) Sementara tersedia
juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan Restitusi yang diajukan
berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban (“UU 13/2006”), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (“PP
44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar
Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7
ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP
44/2008
Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini
dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal
21 PP 44/2008)
Permohonan Restitusi tersebut diajukan
secara tertulis yang bermaterei cukup dalam bahasa Indonesia oleh
Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP 44/2008 memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas pemohon;
b. uraian tentang tindak pidana;
c. identitas pelaku tindak pidana;
d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e. bentuk Restitusi yang diminta.
Permohonan Restitusi harus dilampiri:
a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau
Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau
pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan
perawatan atau pengobatan;
d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana;
f. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan
g. surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh Kuasa Korban atau Kuasa Keluarga.
Jika permohonan Restitusi di mana perkaranya telah diputus pengadilan
dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka permohonan Restitusi
harus dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut.
Apabila permohonan tersebut oleh LPSK telah dinyatakan lengkap maka akan
ada pemeriksaan substantif dan hasil pemeriksaan tersebut ditetapkan
dengan Keputusan LPSK beserta pertimbangannya yang disertai rekomendasi
untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Apabila permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana
dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta
keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan yang berwenang
Setelah LPSK mengajukan permohonan Restitusi, maka Pengadilan memeriksa
dan menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima;
Pengadilan setelah memeriksa mengeluarkan penetapan yang disampaikan ke
LPSK dan LPSK wajib menyampaikan salinan penetapan pengadilan kepada
Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau
pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal menerima penetapan.
Apabila permohonan
Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan
permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada
penuntut umum
Penuntut umum kemudian dalam tuntutannya mencantumkan
permohonan Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
Putusan Pengadilan yang dijatuhkan disampaikan kepada LPSK dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan;
LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada Korban, Keluarga,
atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
menerima putusan.
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak
ketiga wajib melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan tersebut
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal salinan penetapan pengadilan diterima;
Pelaku
tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi
kepada pengadilan dan LPSK dan LPSK membuat berita acara pelaksanaan
penetapan pengadilan
Setelah proses tersebut di lakukan maka Pengadilan wajib mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman pengadilan.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
3. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
4. Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi